PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak
kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan
menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun
sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
Tawassul adalah salah satu
metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap
Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan
tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah
musyrik.
Orang yang melakukan
tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia
memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya. Jika
ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
Orang
yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk
bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan
sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia
musyrik.
Tawassul bukanlah suatu
keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang
asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman
Allah swt.:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
"Dan
apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah:186) )
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanlah: "Serulah
Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak
ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan
amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau
bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan,
dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk
diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil
diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang
mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang
bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan
tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka
lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang
lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun
menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul
model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara
mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya
dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa
al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber
perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal
orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan
mengatakan: "Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau
dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul
model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami
memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan
substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah
tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati
merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul
yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan
menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka
yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun
hilang.
Akan
saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada
dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang
dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya
katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu
karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia
meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka
baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan
tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau
karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan
tawassul, sebagaimana firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه" atau
sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek
tawassul.
Jika
anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta
dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul.
Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang
dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan
mendapat pahala karenanya.
Orang
yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai
fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas
kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan
Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa
cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan
seperti ini dan itu."
Namun
mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa
cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar,
baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat
dan isi hati yang tersimpan.
Orang
yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu
sama dengan orang yang mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu
dengan rasa cintaku kepada NabiMu."
Karena
orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa
cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan
kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul
dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat
dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul
sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan
perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang
bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك
هَذَا
بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah
adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk
mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai
kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan
wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz
al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat.
Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para
Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan
melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal
shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam
hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang
menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar
anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya
beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan
sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam
al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad
al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu
Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu
Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam
menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar
Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau
mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku,
karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan
nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya
melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu
Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu
kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar
kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu.
Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam
al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan
menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As
Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan
mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya
dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu
sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani
dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai
hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam
juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At
Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits
tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8
hal. 253.
Terdapat
hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada
Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR.
Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih.
Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini
shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al
Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al
Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian
ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari
statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’)
seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai
hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar.
Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara
dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang
pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits.
Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari
aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam
konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi
dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan
dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan
bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh
langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis )
‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan
sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada
pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh
dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan
melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (
yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’
terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan
namaku kepada-Nya.”
Abu
Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan
melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn
Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku
Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail
al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar
ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan
hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat
pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika
Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah
‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah
Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk
Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya
dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah
mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa
dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
PANDANGAN ULAMA MENGENAI TAWASSUL
1. Mazhab Asy-Syafi'i
An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi yang menganut mazhab Syafi'i dalam adab ziarah kubur Nabi
Muhammad
SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur
Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur
Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
Al-'Izz ibnu Abdissalam yang juga masih dari kalangan mazhab Asy-Syafi'i
mengatakan bahwa
hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat
Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab
Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat
Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab
Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
As-Subki mengatakan bahwa hukum bertawassul, istighatsah serta meminta syafaat
kepada Nabi
Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
2. Pendapat Sebagian Ulama Hanafiyah
(Mutaakhkhirin)
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Dalam kitab Fathul Qadir, beliau menyebutkan bahwa hendaklah orang yang berziarah ke makam
Rasulullah SAW itu mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW (assalamu 'alaika), lalu silahkan
menyampaikan hajatnya kepada Allah dengan bertawassul kehadhirat Rasulullah SAW.
3. Mazhab Malik
Diriwayatkan dalam kitab Fadhailu Malik (Keutamaan Imam Malik) karya Abul Hasan Ali bin Fihr,
bahwa Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya oleh Abu Ja'far Al-Manshur, khalifah yang
kedua dari dinasti Khilafah Abbasiyah.
"Wahai Aba Abdillah, apakah Aku harus menghadap kubur Rasulullah lalu berdoa, ataukah Aku
menghadap kiblat lalu berdoa?"
Al-Imam Malik menjawab, "Kenapa Anda harus memalingkan wajah dari kubur Rasulullah SAW?
Padahal Rasulullah SAW adalah wasilah (perantaraan) bagimu kepada Allah di hari kiamat, bahkan
beliau SAW juga merupakan wasilah buat Nabi Adam alaihissalam kepada Allah. Silahkan hadapkan
dirimu kepada Rasulullah SAW dan mintalah syafaat agar Allah SWT memberimu syafaat."
Kisah
ini ternyata bukan hanya terdapat di satu kitab, tetapi ada kitab lain,
misalnya kitab Asy-Syifa'
karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
4. Madzhab Hanabilah
Ibnu Qudamah dari kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
"Dan dicintai bila seseorang masuk ke dalam masjid agar mendahulukan kaki kanannya. Sampai
kepada kalimat: Kemudian hendaklah dia mendatangi kubur Nabi Muhammad SAW dan berdoa:
"Aku telah datang kepada Baginda dengan meminta ampun dari dosa-dosaku, dengan memohon
syafaat lewatmu kepada tuhanku".
Kesimpulannya, umumnya para ulama dari berbagai mazhab tidak mengharamkan kita
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
sumber :
www.sufiroad.blogspot.com
http://tautansenja.blogspot.com
http://nu.or.id
dan sumber lain yang terpercaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar