Gerakan Pemuda Ansor Ranting Desa Jatisono merupakan salah satu Badan Otonom Jam'iyyah Nahdhotul 'Ulama yang berada di bawah koordinasi Pengurus Anak Cabang GP. Ansor Kecamatan Gajah, Pengurus Cabang GP. Ansor Kabupaten Demak, dan Pengurus Wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Rabu, 20 Maret 2013
Sabtu, 16 Maret 2013
DASAR HUKUM PELAKSANAAN PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
ASAL-USUL DAN DASAR HUKUM PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Sesungguhnya Nabi Muhammad Sallallahu alaihi Wasallam adalah utusan
Allah dan rahmat bagi sekalian alam.Nabi Muhammad SAW. adalah nikmat
terbesar dan anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta.
Ketika manusia saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak
mengenal Rabb pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan
moral yang luar biasa. Nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik.
Penyembahan terhadap berhala-berhala suatu kehormatan, perzinaan suatu
kebanggaan, mabuk dan berjudi adalah kejantanan, dan merampok serta
membunuh adalah suatu keberanian. Di saat seperti ini rahmat ilahi
memancar dari jazirah Arab. Dunia ini melahirkan seorang Rasul yang
ditunggu oleh alam semesta untuk menghentikan semua kerusakan ini dan
membawanya kepada cahaya ilahi.Kelahiran makhluk mulia yang ditunggu
jagad raya membuat alam tersenyum, gembira dan memancarkan cahaya.
Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid
Habsyi (Biasa disebut Simtu Duror atau lengkapnya Simthud-Durar fi
akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar)
menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:
اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.
Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.
Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya? ”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?” Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”. Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau. Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid. Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah.
“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.
Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.
Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.
Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya? ”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?” Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”. Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau. Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid. Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah.
Jika peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah
kehidupan Rasulullah saw., mengingat kepribadian beliau yang agung,
mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan
sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara maulid seperti demikian,
alasan apa masih disebut dengan bid’ah? dan setiap bid’ah pasti sesat,
dan setiap yang sesat pasti masuk neraka, tidak semuanya benar.!
Sebagai pembuka dalam pembahasan memperingati Maulid Nabi SAW,ada
baiknya kita kutip perkataan seorang ulama kharismatik dari Universitas
Al-Azhar Mesir Imam Mutawalli Sha`Rawi dalam bukunya al-Fikr Ma’idat
al-Islamiyya ” Jika makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu
dan semua tanaman senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas
kelahirannya semua malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin
senang atas kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia
atas kelahirannya? “ (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak
memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam. Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah.
Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
A. SEJARAH MAULID
Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.
B. DALIL-DALIL MAULID
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ada banyak alasan dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:
1. Firman Allah SWT:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107). Dalam sebuah hadist disebutkan:
وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .
As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw.”(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
2. Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)
3. Firman Allah :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)” Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya
4. Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب
( “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya
5. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam. Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun “. (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya). Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.
Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
6. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
7. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
8. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
9. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
10. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
11. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
12. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
13. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
14. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
15. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
16. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
17. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji
18. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.
19. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
20. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.
Di sarikan dari web sahabat ansor :
http://kisemarperkasa.blogspot.com
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam. Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid’ah.
Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat. Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.
A. SEJARAH MAULID
Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi’i (854 H) dalam bukunya “Al-Khutath” menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah) Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi’i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang. Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya. Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H. Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu. Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut. Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi. Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat. Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.
B. DALIL-DALIL MAULID
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ada banyak alasan dan argumentasi pula untuk tidak merayakan tradisi ini.Diantara dalil-dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW adalah:
1. Firman Allah SWT:
ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ
“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107). Dalam sebuah hadist disebutkan:
وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .
As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,”Bagaimana keadaanmu? Abu lahab menjawab, di neraka, cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw.”(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi’bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
2. Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)
3. Firman Allah :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)” Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya
4. Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب
( “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya
5. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari ‘at Islam. Rasulullah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun “. (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya). Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur ‘an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’.
Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
6. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
7. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
8. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
9. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
10. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
11. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
12. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
13. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
14. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
15. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
16. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
17. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji
18. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.
19. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
20. Semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang. Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.
Di sarikan dari web sahabat ansor :
http://kisemarperkasa.blogspot.com
Kamis, 14 Maret 2013
BERTAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD SAW, AULIYA', ULAMA DAN SHOLIHIN, BOLEHKAH?
PENGERTIAN TAWASSUL
Banyak
kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan
menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun
sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
Tawassul adalah salah satu
metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap
Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt. Obyek yang dijadikan
tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah
musyrik.
Orang yang melakukan
tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia
memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya. Jika
ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
Orang
yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk
bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan
sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia
musyrik.
Tawassul bukanlah suatu
keharusan dan terkabulnya doa tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang
asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman
Allah swt.:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
"Dan
apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran." (QS. al-Baqarah:186) )
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
"Katakanlah: "Serulah
Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al-Asma' al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu
mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra`:110)
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA
Tidak
ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan
amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau
bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan,
dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk
diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil
diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang
mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang
bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan
tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka
lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang
lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun
menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul
model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara
mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya
dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa
al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber
perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal
orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan
mengatakan: "Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau
dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra." Tawassul
model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami
memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan
substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah
tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati
merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul
yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan
menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka
yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun
hilang.
Akan
saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada
dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang
dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya
katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu
karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia
meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka
baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan
tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau
karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan
tawassul, sebagaimana firman Allah swt.: "يحبّونهم ويحبّونه" atau
sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek
tawassul.
Jika
anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta
dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul.
Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang
dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan
mendapat pahala karenanya.
Orang
yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai
fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas
kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan
Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa
cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan
seperti ini dan itu."
Namun
mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa
cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar,
baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat
dan isi hati yang tersimpan.
Orang
yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu," itu
sama dengan orang yang mengatakan: "Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu
dengan rasa cintaku kepada NabiMu."
Karena
orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa
cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan
kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul
dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat
dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul
sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan
perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang
bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. سُبْحَانك
هَذَا
بُهْتَان عَظِيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah
adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk
mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai
kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan
wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz
al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat.
Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para
Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan
melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal
shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam
hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang
menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar
anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya
beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan
sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA
ý Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam
al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad
al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu
Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu
Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam
menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia
berkata: Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar
Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau
mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku,
karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan
nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya
melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu
Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu
kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar
kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu.
Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam
al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan
menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As
Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan
mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya
dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu
sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani
dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai
hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam
juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At
Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits
tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8
hal. 253.
Terdapat
hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada
Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.”
HR.
Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih.
Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini
shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al
Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al
Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian
ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari
statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’)
seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai
hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar.
Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara
dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang
pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits.
Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari
aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS
Dalam
konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi
dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan
dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan
bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh
langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis )
‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan
sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada
pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh
dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan
melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (
yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’
terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan
namaku kepada-Nya.”
Abu
Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan
melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn
Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku
Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail
al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar
ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan
hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat
pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika
Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah
‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah
Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk
Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya
dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah
mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa
dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
PANDANGAN ULAMA MENGENAI TAWASSUL
1. Mazhab Asy-Syafi'i
An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi yang menganut mazhab Syafi'i dalam adab ziarah kubur Nabi
Muhammad
SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur
Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
SAW mengatakan bahwa di antara adabnya adalah hendaklah peziarah kembali ke arah kubur
Rasulullah SAW, lalu bertawassul, dan meminta syafaat dengannya kepada tuhannya.
Al-'Izz ibnu Abdissalam yang juga masih dari kalangan mazhab Asy-Syafi'i
mengatakan bahwa
hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat
Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab
Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
hendaknya urusan bertawassul ini satu-satunya yang dibenarkan lewat seseorang hanya lewat
Rasulullah SAW saja, tidak lewat nabi yang lain, atau para malaikat, apalagi para wali. Sebab
Rasulullah SAW adalah sayyidu waladi Adam, jujungan semua anak Adam.
As-Subki mengatakan bahwa hukum bertawassul, istighatsah serta meminta syafaat
kepada Nabi
Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
Muhammad SAW adalah hal yang merupakan kebaikan.
2. Pendapat Sebagian Ulama Hanafiyah
(Mutaakhkhirin)
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Al-Kamal bin Al-Hammam, ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah termasuk yang membolehkan
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
Dalam kitab Fathul Qadir, beliau menyebutkan bahwa hendaklah orang yang berziarah ke makam
Rasulullah SAW itu mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW (assalamu 'alaika), lalu silahkan
menyampaikan hajatnya kepada Allah dengan bertawassul kehadhirat Rasulullah SAW.
3. Mazhab Malik
Diriwayatkan dalam kitab Fadhailu Malik (Keutamaan Imam Malik) karya Abul Hasan Ali bin Fihr,
bahwa Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya oleh Abu Ja'far Al-Manshur, khalifah yang
kedua dari dinasti Khilafah Abbasiyah.
"Wahai Aba Abdillah, apakah Aku harus menghadap kubur Rasulullah lalu berdoa, ataukah Aku
menghadap kiblat lalu berdoa?"
Al-Imam Malik menjawab, "Kenapa Anda harus memalingkan wajah dari kubur Rasulullah SAW?
Padahal Rasulullah SAW adalah wasilah (perantaraan) bagimu kepada Allah di hari kiamat, bahkan
beliau SAW juga merupakan wasilah buat Nabi Adam alaihissalam kepada Allah. Silahkan hadapkan
dirimu kepada Rasulullah SAW dan mintalah syafaat agar Allah SWT memberimu syafaat."
Kisah
ini ternyata bukan hanya terdapat di satu kitab, tetapi ada kitab lain,
misalnya kitab Asy-Syifa'
karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
karya Al-Qadhi 'Iyyadh lewat jalurnya dari para masyaikh-nya yang tsiqah.
4. Madzhab Hanabilah
Ibnu Qudamah dari kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
"Dan dicintai bila seseorang masuk ke dalam masjid agar mendahulukan kaki kanannya. Sampai
kepada kalimat: Kemudian hendaklah dia mendatangi kubur Nabi Muhammad SAW dan berdoa:
"Aku telah datang kepada Baginda dengan meminta ampun dari dosa-dosaku, dengan memohon
syafaat lewatmu kepada tuhanku".
Kesimpulannya, umumnya para ulama dari berbagai mazhab tidak mengharamkan kita
bertawassul dengan diri Rasulullah SAW.
sumber :
www.sufiroad.blogspot.com
http://tautansenja.blogspot.com
http://nu.or.id
dan sumber lain yang terpercaya
Langganan:
Postingan (Atom)