Jumat, 08 Maret 2013

BETERNAK JANGKRIK, CACING DAN SEMUT RANGRANG, BOLEHKAH ?

Perkembangan teknologi yang begitu pesatnya telah menuntut manusia untuk melakukan berbagai macam inovasi dan dengan menemukan cara-cara baru dalam rangka mempertahankan kelangsungan kehidupan dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Hal ini memang sesuai dengan tuntutan zaman, dimana secara garis besar jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia semakin sempit dan sedikit, sementara jumlah orang yang harus mencukupi kebutuhan hidupnya semakin meningkat. Maka diperlukan berbagai macam terobosan agar hidup tetap hidup. Penelitian demi penelitian terus dilakukan, dan penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal yang  dahulu dianggap tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin menjijikkan, kini berubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan diperlukan. Maha Besar Alloh SWT yang telah menjadikan segala sesuatu tidak sia-sia belaka.
 إن اللهَ لَا يَسْتَحى أن يَضَربَ مَثلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوقَهَا

"Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu" (Surat Al-Baqarah :26)

Yang menjadi permasalahan adalah apakah terobosan-terobosan baru yang diciptakan sudah sesuai dengan aturan agama atau asal ada pekerjaan saja, urusan agama dipikirkan nanti saja..?

Alloh SWT memang memerintahkan umat manusia untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini tertuang dalam Al-Quran Surat Al-Jumuah Ayat : 10

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

"10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung".

Dan sebagian contoh terobosan-terobosan baru tersebut adalah maraknya usaha ternak cacing, ternak jangkrik dan yang terbaru adalah ternak semut rang-rang (nyangkrang;semut merah).
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimanakah hukum budidaya hewan-hewan tersebut menurut pandangan aturan agama Islam? Dapatkah hal tersebut dibenarkan dalam kajian Fiqh? Bukankah kedua jenis satwa tesebut termasuk ke dalam kategori al-Khabaits (hewan-hewan kotor) atau al-Hasyarat (hewan-hewan merayap) yang menurut jumhur fuqaha' hukumnya haram dikonsumsi? 

PANDANGAN FIQH
Dalam Kitab Ar_Risalah, Imam Syafi'i r.a menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali pasti ada jalan keluar/solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam al-Quran  al-Karim (ada yang langsung/manshush  dan ada yang tidak langsung/ ghairu manshush/maskut 'anhu). Nabi SAW bersabda :
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan sunah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".

Apa yang disampaikan oleh Imam Syafi'i tersebut, kemudian menimbulkan dua macam kajian Ushul Fiqh berkaitan dengan penentuan suatu hukum.
  1. Penentuan atas suatu hukum yang secara jelas dan tegas sudah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Untuk menentukan hukum yang semisal ini maka tidak diperlukan penelitian lebih lanjut, karena posisinya yang sudah jelas dan tegas.
  2. Penentuan atas suatu hukum yang belum dinyatakan secara tegas dan jelas baik oleh Al-qur'an maupun Al-Hadits. Untuk menentukan status hukum permasalahan yang seperti ini diperlukan ijtihad (penelitian lebih lanjut)
Penggalian hukum  yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan langkah-langkah pendekatan hukum seperti :
  1. Memperhatikan qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ  
          "Hukum asal dari segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah/boleh"
Dasar hukum penetapan Qoidah tersebut adalah :

            1. Surat Al-Baqarah, 29:
       هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِىالاَرْضِ جَمِيْعًا
 "Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian".
          
           2.  Surat Luqman, 20:

اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِىالسَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin".
         3. Surat Al-Jasiyah, 13:
   وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya".
Metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas ialah, bahwa   semua yang ada di muka bumi dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini berarti semuanya itu halal bagi umat manusia, kecuali bila membahayakan atau ada dalil nash yang menyatakan keharamannya.  


  4. Hadis riwayat al hakim:
مَااَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesutu apa pun".
   5. Hadis riawayt Turmuzi dan Ibnu Majah:
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkn beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, menentukan beberapa ketentuan,    janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya."
 Dasar Pengambilan dalil dari kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa hal yang sengaja tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak  pula dinyatakan haram. Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya adalah halal. Tentu selama hal itu bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya cacing, jangkrik dan semut rang rang dalam rangka  menciptakan lapangan kerja  baru, mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat. Oleh karena termasuk maskut 'anhu (tidak disebutkan hukumnya) maka sesuai dengan keumuman ayat dan hadis di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-Ibahah, menurut hal yang bisa dipahami adalah bahwa beternak cacing, jangkrik dan semut rang rang tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
2. Pendekatan maslahah mursalah/istislah.
   Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah:

   مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau membenarkannya."
Dalam menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, sunah, dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku tokoh Ushuliyyin mazhab Syafi'i, Imam Malik dan mayoritas ashab-nya, Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa masalah semacam itu dapat diselesaikan melalui metodologi istishlah atau berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya cacing, jangkrik dan semut rang rang jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu  suatu maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun sunah yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut - seperti telah disinggung di atas - dapat membuka lapangan kerja, mengatasi pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat dimanfaatkan  untuk menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah, bahan obat-obatan dan kosmetika, yang juga bernilai ekonomis. Mengenai jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk makanan burung yang juga bisa mendatangkan penghasilan.
Berdasarkan analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal)
3. Pendekatan Tujuan Syari'at (Maqosid As-Syar'i)
Ulama telah bersepakat bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an /penetapan   hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin:
                    اَيْنَمَا كَانَتِ  الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
      "Di mana ada maslahat, di sanalah hukum Allah" (Artinya, maslahat yang tidak bertentangan dengan  prinsip-prinsip hukum Islam dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, budidaya cacing, jangkrik dan semut rang rang jelas merupakan maslahat. Dan masalahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan pensyari'atan hukum Islam. Menurut hemat penulis, justru amat sejalan. Sebagaimana diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal ini direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer hidup dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan/keturunan.
Menurut pemahaman ini, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan dengan upaya memelihara harta yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan primer yang lain, yakni agama, jiwa, akal, dan kehormatan/keturunan.  Sebab dengan budidaya itu diharapkan dapat diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai diharapkan akan tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan tercukupi kebutuhan hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara jiwanya, sehat akalnya, terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya. Bukankah al-Qur'an telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang punggung kehidupan? Bukankah Rasulullah telah menegaskan bahwa kefakiran dapat berdampak pada kekufuran?
      Atas dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut hemat penulis hukumnya jelas halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya,  Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hukum budidaya cacing, jangkrik dan semut rang-rang dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid syari'ah adalah mubah/halal.

Hukum Hewan Melata Dan Berobat Dengan Yang Haram/Najis

Mengingat jangkrik dan cacing termasuk kategori al-Hasyarat, untuk lebih memperjelas masalah ini perlu kita ketahui pandangan fuqaha' tentang al-Hasyarat. Fuqaha' berbeda pendapat mengenai hukum al-hasyarat. Imam Abu Hanifah dan asy- Syafi'i berpendirian bahwa al-Hasyarat hukumnya haram. Sebab al-Hasyarat terma-suk al-Khabais, sejalan dengan ayat Wa Yuharrimu 'Alaihim al-Khabais. Sementara itu Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i berpendapat,  al-hasyarat hukumnya halal.
Perlu dicatat buku-buku fiqh yang menyebutkan pandangan mazhab Maliki ini ada yang menyatakan harus disembelih dan ada pula yang tidak menyebutkan ketentuan tersebut. Yang dimaksud dengan disembelih di sini ialah binatang itu dimatikan terlebih dahulu dengan cara apa saja, misalnya dengan dipotong lehernya, anggota  badannya, dibakar, direndam di air panas, dihanyutkan, dll. Jadi bukan di-sembelih dalam pengertian syar'i seperti pada sapi, kambing dan sejenisnya.
Kemudian, tentang boleh tidaknya berobat dengan hal-hal yang haram/najis, fuqaha' berbeda pendapat menjadi tiga golongan sbb:
1. Pendapat pertama menyatakan, boleh berobat dengan yang haram atau najis dalam keadaan darurat. Argumentasi kelompok ini ialah:
  •     Rasulullah SAW membenarkan Abdurrahman bin 'Auf memakai sutra ketika ia sedang terkena penyakit kulit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan darurat diperbolehkan mempergunakan yang haram.
  •      Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menyuruh beberapa orang dari qabilah 'Urainah yang sedang sakit di Madinah untuk berobat dengan minum susu dan air kencing unta. Mereka mengikuti petunjuk Rasulullah dan ternyata sembuh (Muttafaq 'alaih).

Hal ini menunjukkan bahwa berobat dengan yang najis/haram itu boleh pada saat tidak ada pilihan yang lain.
2.  Pendapat kedua menyatakan, haram secara mutlak.Argumentasi kelompok ini ialah:
   a. Hadis riwayat Abu Dawud bahwa Nabi bersabda:

اِنَّ اللهَ اَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan obat pada tiap-tiap penyakit. Untuk itu berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram."      
         b.  Hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang berobat dengan yang najis/haram (Abu Dawud).
Dua hadis di atas secara tegas melarang berobat dengan yang haram/najis. Dua hadis ini diihtimal-kan oleh kelompok pertama di luar kondisi darurat.
3. Pendapat ketiga menyatakan dalam kondisi darurat boleh berobat dengan yang haram/najis, kecuali khamar. Argumentasi mereka adalah alasan yang dipakai oleh kelompok pertama ditambah hadis riwayat Muslim:

اِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ

         "Khamar itu bukan obat, tetapi penyakit".
     Menurut penelitian Dr. Abu Sari' Abdulhadi, di antara tiga pendapat di atas, pendapat pertamalah yang paling kuat, yaitu pendapat yang membenarkan berobat dengan yang haram/najis dalam kondisi darurat.
      Kalau pandangan para fuqaha' tentang al-hasyarat dan berobat dengan yang haram/najis tersebut kita bawa kepada masalah cacing maka ada dua kemungkinan yang dapat kita tempuh:
     1. Pertama mengkuti pandangan mazhab Maliki, Ibn Abi Laila, dan Auza'i yang menyatakan bahwa al-Hasyarat hukumnya halal. Dengan mengikuti pandangan ini maka cacing dapat dijadikan bahan obat-obatan atau kosmetika, selama menurut penelitian dokter/para ahli tidak membahayakan.  Dalam hal ini tidak perlu menunggu kondisi darurat. Demikian juga, dengan mengikuti pandangan ini, cacing dan jangkrik dapat dikonsumsi bagi mereka yang memerlukannya. Kini jangkrik merupakan salah satu menu yang dapat ditemukan di beberapa restoran bagi para penggemarnya.
    2. Mengikuti pandangan Abu Hanifah, dan asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa al-hasyarat hukumnya haram digabung dengan pendapat yang rajih/ kuat (pendapat pertama) yang membenarkan berobat dengan hal-hal yang haram/najis dalam kondisi darurat. Dengan mengikuti pandangan ini, kita dapat membenarkan penggunaan cacing untuk obat dengan catatan tidak ada alternatif lain (darurat), sejalan dengan kaidah adl-Dlarurat Tubihu al-Mahdhurat, selama menurut para ahli tidak membahayakan.
     Lalu bagaimana kalau cacing tersebut untuk keperluan kosmetika? Menurut hemat penulis kosmetika bisa termasuk hajiyat (kebutuhan sekunder) dan dapat juga termasuk tahsiniyat (pelengkap dan penyempurna), tergantung sikonnya. Bahkan dapat meningkat menjadi hajiyat yang menempati level dlaruriyat (kebutuhan yang mendesak) sejalan dengan kaidah al-Hajat Tunazzalu Manzilat adl-Dlarurat, seperti apabila keharmonisan rumah tangga suami istri banyak tergantung dengan ukuran-ukuran tertentu dalam bersolek yang mesti dilakukan oleh seorang istri. Dalam kondisi semacam ini jelas dibenarkan bagi seorang istri mempercantik dirinya dengan kosmetika yang ramuannya terbuat dari cacing. Tentu selama tidak membahayakan. Hal ini lebih bisa dibenarkan lagi kalau kita mengikuti pandangan Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Auza'i yang menyatakan bahwa al-Hasyarat seperti cacing adalah halal. Artinya ia tidak dajis. Perlu diketahui bahwa maslahat hajiyat yang menempati level daruriyat menurut al-Ghazali dapat dijadikan istislah/maslahah mursalah untuk menetapkan hukum Islam. Sementara itu Asy-Sya-tibi, mayoritas ulama Malikiyah dan  Hanabilah membenarkan maslahat dengan semua tingkatannya (dlaruriyat/primer, hajiyat/ sekunder, dan tahsiniyat/pelengkap dan penyempurna) sebagai istislah/maslahah mursalah dalam penetapan hukum Islam. 
Disusun dan dirangkum oleh :
       Ali Marzuqi, S.Pd.SD
Ketua Ranting GP. Ansor Desa Jatisono

3 komentar:

  1. Terima kasih tulisan ini sangat baik karena bisa menambah wawasan tentang hukum hukum dalam beternak, dan sekaligus bisa saya tahu mana yang boleh diternak dan mana yang tidak boleh dari pandangan islam.Makasih

    BalasHapus
  2. Jadi halal atau haram.kalo semut kroto di jual beli kan.mohon info nya

    BalasHapus
  3. Jadi halal atau haram.kalo semut kroto di jual beli kan.mohon info nya

    BalasHapus